You are currently viewing Apresiasi Seni – Surya Gumlewang

Apresiasi Seni – Surya Gumlewang

Bidang Pelatihan, Pengembangan, dan Pelatihan Ormawa Kesenian Tradisional
BKKT UNS menyelenggarakan apresiasi seni pada tanggal 18 Mei 2024 di Pendapa
Ageng GPH, Djojokusumo ISI Surakarta. Apresiasi seni ini berupa kegiatan menonton
bersama pertunjukan seni Tari,Karawitan, dan Pedhalangan yang berjudul Surya
Gumlewang secara offline maupun online yang diikuti baik dari pengurus maupun
anggota BKKT UNS.

Acara awali dengan Sambutan dari Ketua Jurusan Pedalangan ISI Surakarta
yaitu Dr. Bagong Pjiono S.Sn , M.Sn. dan dilanjutkan dengan pertunjukan sajian tarian
yang berjudul Umbul Donga “Raga Taya” yang ditarikan oleh Wahyu Santosa
Prabowo, Daryono, Nuryanto, Agung Kusuma Widagdo, Dorothea Quin dan Jarot Budi
Darsono. Lalu berikutnya adalah sekapur sirih dari Wakil Rektor III ISI Surakarta yaitu
Dr. Sugeng Nugroho S.Kar , M.Sn. lalu acara dilanjutkan dengan pertunjukan fragmen
“Pendadaran Sokalima” oleh Ki Nindyo Asto Hastungkro dan Ki Pradhana Dendi
Prakosa. Dan Acara ketiga dilanjutkan dengan konser karawitan dan tari yang berjudul
“Surya Gumlewang” yang disajikan oleh Suraji, Ali Marsudi, Agus Prasetyo, Wasi
Bantolo dan Rambat Yulianingsih. Lalu sebagai puncak acara pengetan 100 hari
meninggalnya Ki Empu Blacius Subono adalah dengan dipertunjukkannya konser
karawitan Pakeliran “Sotya Gandewa” oleh Ki Cahyo Kuntadi yang menceritakan
tentang Bambang Ekalaya.

Ekalaya adalah seorang putra dari kerajaan Paranggelung yang datang dan ingin
berguru kepada Resi Durna. Namun keinginan dan cita-cita tersebut bukan gayung
bersambut, karena Ekalaya ditolak oleh Resi Durna dengan alasan ia tidak boleh
menerima murid lain selain Pandawa dan Kurawa. Hal tersebut tidak menjadikan
Ekalaya putus ada. Setelah kembali ke Paranggelung ia membuat patung dari tanah liat
sangat mirip dengan Resi Durna

Dengan semangat yang tinggi, setiap hari ia berguru kepada patung tersebut sambil membayangkan seolah-olah ia benar-benar berhadapan dan berguru kepada Sang Resi. Dengan kesungguhannya, akhirnya Ekalaya menjadi pemanah yang handal dengan kemampuan yang lebih baik daripada Pandawa dan Kurawa. Hal tersebut dibuktikan dengan peristiwa ketika Ekalaya memanah mulut seekor anjing dengan tujuh anak panah yang ia lepaskan sekaligus.

Kejadian itu kemudian ketahui oleh Pandawa dan Kurawa ketika mereka sedang
berburu. Arjuna segera meminta penjelasan kepada sang guru. Kesungguhan Ekalaya
dalam berlatih memanah kepada patung yang sangat mirip dengan Resi Durna dianggap
sebuah tindakan yang lancang dan tidak terpuji. Akibatnya, Sang Resi meminta imbalan
kepadanya untuk mempersembahkan salah satu ibu jarinya agar bisa diakui sebagai
muridnya. Tanpa pikir panjang dan tidak ada kecurigaan apapun bahwa sebenarnya hal
tersebut dilakukan Sang Resi agar tidak ada yang bisa menandingi Arjuna sebagai
pemanah terbaik, Ekalaya pun menyerahkan salah satu ibu jarinya. Demi menghindari
pertengkaran, maka Resi Durna mempersaudarakan keduanya dengan memberi
Ekalaya dengan Palgunadi dan Arjuna dengan nama Palguna. Lalu pada akhir acara
ditutup dengan sajian Gendhing Karawitan Pambuka Nurroso ciptaan Ki Empu Blacius
Subono.

Menurut Fadlurrahman Farizi, pertunjukan “Surya Gumlewang” dominan
dalam penyajian gerak yang kuat dan ekspresif, dipadukan dengan kostum yang
mendalam dan visual yang menarik. Pencahayaan yang cermat menambahkan nuansa
dramatis, sementara musik pengiringnya memberikan keselarasan yang harmonis
dengan gerakan para penari. Faktor pendukung seperti properti dan teknologi panggung
juga berkontribusi besar dalam menciptakan sebuah pengalaman seni yang memikat
dan menginspirasi.