You are currently viewing Adeging Kutha Sala: The Story Of Pakubuwono II

Adeging Kutha Sala: The Story Of Pakubuwono II

Adeging Kutha Sala merupakan sebuah acara pertunjukan yang rutin diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta, yang merepresentasikan momentum bersejarah tentang berdirinya Kota Surakarta atau yang sekarang lebih dikenal sebagai Kota Solo. Acara tersebut digelar untuk memperingati Hari Ulang Tahun Kota Solo yang ke-280, yang terselenggara pada Senin, 17 Februari 2025 di Pendhapi Gedhe Balaikota Surakarta. Pada kesempatan kali ini, Bidang Penelitian, Pelatihan, dan Perkembangan Ormawa BKKT UNS melakukan kegiatan apresiasi seni yang berupa menonton pertunjukan spektakuler tersebut bersama beberapa anggota Ormawa BKKT UNS. Kegiatan ini bertujuan untuk menambah ilmu dan atau bekal yang dapat membantu perkembangan Ormawa BKKT UNS.

Diawali dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya, kemudian sambutan oleh Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta, Drs. Aryo Widyandoko, M.H. Sajian pertunjukan ini dimulai oleh beberapa penari yang menggambarkan kekacauan Keraton Kartasura yang pada saat itu mengalami wabah penyakit dan beberapa konflik sehingga berada di ambang keruntuhan. Melihat hal tersebut, Pakubuwono II yang saat itu memegang kekuasaan tertinggi dibawah GKR Kencana (istri Amangkurat IV) memiliki keinginan untuk memindahkan pusat kekuasaannya. Melakukan penyamaran sebagai rakyat biasa, Pakubuwono bersama pasukannya, melakukan perjalanan mencari tanah atau lokasi yang bagus untuk membangun sebuah kerajaan. Salah satu pasukannya, Pangeran Wijil memberikan usulan yaitu Desa Sala yang waktu itu dipimpin oleh Ki Gedhe Sala, ia mengungkapkan bahwa kondisi alam dan sosial yang ada di Desa Sala bagus untuk membuat sebuah pusat pemerintahan. Mendengar ucapan Pangeran Wijil, Pakubuwono II dan pasukannya bergegas menuju Desa Sala untuk menemui Ki Gedhe Sala guna menjelaskan maksud dan tujuan yang akan dilakukannya. Ki Gedhe Sala dan para warga Desa Sala menerima kedatangan serta tujuan Pakubuwono beserta pasukannya dengan tangan terbuka dan akhirnya Desa Sala berubah namanya menjadi Surakarta Hadiningrat dibawah kekuasaan Pakubuwono II. Sajian ini diakhiri dengan penampilan penari yang menggambarkan suasana suka cita dikarenakan tujuan dari tokoh utama dalam karya ini telah tercapai dan hal tersebut menguntungkan kedua belah pihak. Pendirian pemerintahan Surakarta Hadiningrat ditetapkan sebagai hari jadi Kota Solo. 

Naskah karya ini ditulis oleh seorang aktor teater, koreografer, sutradara, dan skenografi sekaligus founder dari studio Taksu yaitu Djarot Budi Darsono, S.Sn., M.Sn. Tentu saja yang dalam proses penyajiannya dibantu oleh seorang sutradara yang juga merupakan seniman kondang, R Danang Cahyo Wijayanto, S.Sn., M.Sn.  Konsep penyajian Adeging Kutha Sala tahun 2025 ini dikemas dalam bentuk drama yang menggabungkan kearifan lokal dengan sentuhan modern. Selain dari segi estetika, pertunjukan ini juga menyampaikan alur cerita tentang sejarah berdirinya Kota Surakarta dengan sangat runtut dan jelas, yang media penyampaiannya baik berupa dialog dan monolog menggunakan Bahasa Indonesia, sehingga apabila terdapat penonton yang berasal dari luar kota dapat memahami apa yang ingin disampaikan pada saat pertunjukan berlangsung. Rangkaian ragam gerak yang disajikan kali ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, gerakan yang ritmis dan dinamis membuat sajian karya ini memiliki kesan tersendiri bagi penonton. Rias dan kostum yang digunakan tergolong sederhana akan tetapi pemilihan warna dan model sangat menarik. Adapun unsur pendukung lain yang terdapat di pertunjukan kali ini yang sama memukaunya seperti musik atau iringan serta lighting yang menggambarkan suasana yang terjadi saat itu. 

Pertunjukan ini digelar dengan kolaborasi antara kelompok seniman yang ada di Kota Solo. Kolaborasi ini dilakukan oleh ISI Surakarta, Akusara Art, dan Moko Dance Studio. Terdapat pula penari tokoh yaitu: Luluk Ari Prasetyo, S.Sn. sebagai Patih Prangwadana,  Mauritus Tamdaru Kusumo, S.Sn., M.Sn. sebagai Pringgoloyo, Paimin, S.Sn., M.A. sebagai Patih Sutowijaya dan Nur Diatmoko, S.Sn. sebagai Pangeran Wijil. Ki Gedhe Solo diperankan oleh Damasus Chrismas Vertananda Waskito, S.Sn, dan Ratu Amangkurat oleh Fitria Trisna Murti, S.Sn., M.Sn. Tokoh utama yaitu Pakubuwono II diperankan oleh Adif Marhaendra, S.Sn.

Tim kreatif yang tentu saja juga turut andil bagian yang luar biasa demi pertunjukan ini dapat diselenggarakan dengan baik. Tim kreatif yang terlibat yaitu:

Sutradara: R Danang Cahyo Wijayanto, S.Sn., M.Sn.

Show Management: JEPro

Penulis naskah: Djarot Budi Darsono, S.Sn., M.Sn

Asisten sutradara 1: Eko Supendi, S.Kar., M.Hum.

Asisten sutradara 2: David Perdana Gesuri, S.Sn.

Pimpinan produksi: Putri Prameswari Wigaringtyas, S.Sn., M.Sn.

After movie: Setia Anung Prabowo, S.Sn.

Koreografer: Wirastuti Susilaningtyas, S.Sn., M.Sn.

Asisten koreografer: Prasetyo Dwi Adi Nugroho, S.Sn.

Production team: Mahawang Agung Prabowo, Ridwan Maulana Ishaq, Hari Ardianto, S.Sn.

Composer music: Gembyang Abad Enggal, Reza Zulfikar Prima, Sigit Pratomo, S.Sn.n 

Music director: Gondrong Gunarto, S.Sn., M.

Penata kostum: Dhestian Wahyu Setiaji, S.Sn., M.Sn.Sn.

Visual content: Dzaari Qolbi Akbar Q., S.Sn., Slamet Budi Raharjo.

Sound engineer: Merwan Ardi, S.Sn., M.Sn.

Penata lampu: Rizki Ade Pradipta, Dwi Cahyono 

“Sajian pertunjukan mengambil konsep gerakan tari dengan unsur kontemporer akan tetapi masih menyelipkan beberapa gerakan tradisional. Penyusunan dinamika tarian tersebut digarap dengan rapi yang dipadukan dengan pemilihan pola lantai yang beragam. Komposisi iringan menggunakan alunan gamelan yang digarap dengan apik sehingga memberikan kesan megah dan modern yang dikombinasikan dengan beberapa musik klasik. Kostum yang digunakan memukau akan tetapi menurut saya kurang merepresentasikan era atau zaman yang dibawakan dalam pertunjukan tersebut” (Fahma Wijaya Sukma).