You are currently viewing Apresiasi Seni – Bukan Musik Biasa #100

Apresiasi Seni – Bukan Musik Biasa #100

Bidang Pelatihan, Pengembangan, dan Pelatihan Ormawa Kesenian Tradisional
BKKT UNS menyelenggarakan apresiasi seni pada tanggal 27 Juli 2024 di Pendapa
Ageng Gendhon Humardani. Apresiasi seni ini berupa kegiatan menonton bersama
pertunjukan seni Bukan Musik Biasa #100 pada hari kedua secara offline yang diikuti
baik dari pengurus maupun anggota BKKT UNS.
Bukan Musik Biasa atau disingkat BMB merupakan sebuah acara rutinan forum
musik dan dialog yang dilakukan setiap satu kali dalam dua bulan. Kegiatan BMB ini
digunakan untuk wadah para komponis dan juga pemikir dalam konteks seni musik.
Kegiatan ini juga digunakan untuk wadah untuk menuangkan kreatifitas para pelaku
musik serta mengkritisi dan diskusi tentang musik.
Dalam Bukan Musik Biasa #100 terdapat pertunjukan karya musik dan juga
instalasi karya musik dari beberapa komponis yang dapat dipegang dan dimainkan
langsung oleh pengunjung. Instalasi-instalasi karya musik tersebut seperti “Daily”
Karya Musik I Wayan Sadra, “Instalasi Ikan-Ikan” Karya Misbahudin, “Senyawa”
Karya Rully Shabara dan Wukir Suryadi, “Gamelan Beling” Karya Komunitas Song
Meri Pacitan, dan “Planet Harmonik” Karya Al Suwardi. Karya musik yang disajikan
pada hari kedua yaitu Sonoseni Ensemble, Smaratantra, Karawitan Kuping Cumpleng,
Danis Sugiyanto & Gandrung Gangsa.
Smaratantra menjadi pembuka karya seni Bukan Musik Biasa #100 ini. Grup
dengan mengangkat tema etnis ini sukses membawakan karya yang benar-benar
menginterpretasikan etnis dengan gaya mereka sendiri. Karya pertama yang mereka
bawakan berjudul “Ramayana”. Dengan sentuhan gaya jazz mereka berhasil
mengkolaborasikan dengan suling Bali. Meskipun terdapat gangguan teknis dalam
audio, hal ini tidak terlalu menjadi masalah. Karya kedua yang dibawakan berjudul
“Ujung Nusa”, beberapa lirik pada karya ini mengambil dari suku Onate. Kesan yang
dibawakan pada karya ini adalah ketimuran. Karya ketiga yang dibawakan Smaratantra
berjudul Shra. Shra menceritakan bagaimana memaknai keikhlasan dengan sumber
inspirasi dari salah satu personilnya. Karya ketiga ini cenderung lebih soft atau kalem
daripada karya karya sebelumnya.
Penyaji berikutnya dari Kelompok Karawitan Kuping Cumpleng atau Karkucu.
Karya Karkucu banyak melibatkan gamelan Ageng Jawa hingga elektronik dan
bertahap menggunakan gamelan Namali (gamelan baru yang dibuatnya sendiri) yaitu
Lakyugan’nyu dan Lakyugan’gen.
Diawali dengan vokal yang bersuara seperti orang membaca doa dengan bahasa
Jawa. Kemudian perlahan diikuti oleh gong dan alat musik lainnya. Permainannya juga
didominasi untuk mengikuti aba aba tangan dari pemain kendang. Terdapat beberapa
cara menabuh yang dikreasikan seperti menabuh saron dengan gagangnya. Karya ini
berjudul Pencar Pancur Pancer.
Karya kedua berjudul Kelor Rumekso Ing Wengi. Berisi dari syair Sunan
Kalijaga. Gamelan saron yang bersahutan membuat karya ini unik dan pada vokal pada
karya ini dibuat seperti cengkok Osing atau Banyuwangian.
Karya ketiga Kelompok Karawitan Kuping Cumpleng berjudul Suwuk Trocok
G3. Aransemen pada karya ini cukup unik dan sulit dikarenakan banyaknya perbedaan
notasi dan ketukan antar instrumen.
Sonoseni Ensemble merupakan kelompok penampil ketiga. Sonoseni Ensemble
orientasi laku kreatifnya menitikberatkan pada proses pengkaryaan bukan hasil jadi.
Karya yang dibawakan berjudul Pendar-Pendar dan Gendhot. Penggabungan antar
instrumen daerah seperti tehyan Betawi, Gender, Kendhang, Kecapi dipadukan dengan
instrumen lain seperti gitar, biola dan djimbe menjadikan aransemen ini sangat unik.
Vokal pada kelompok Sonoseni Ensemble juga sangat berkarakter kuat sehingga juga
membawa kesan tersendiri pada karya ini.
Gandrung Gangsa membawakan karya Arus Monggang yang merupakan hasil
ekspresi musik hasil imajinasi pertemuan Raja Surakarta dengan Ratu Wilhelmina
dalam mengarungi sungai Bengawan Solo. Instrumen ini terdiri dari dua kelompok
besar yaitu instrumen timur dan barat. Instrumen timur diwakili oleh gamelan
Monggang dan musik barat diwakili oleh alat musik tiup yang biasanya digunakan
untuk upacara kenegaraan. Dalam pementasannya, Arus Monggang membawa suasana
yang energik dan berkesan gagah. Pola permainan Monggang yang sedikit berbeda juga
membuat pendengar terbawa dalam suasana baru tidak seperti Monggang pada
umumnya.
Karya kedua berjudul Buka Sembarangan dari I Wayan Sadra dengan komposisi
gamelan Jawa gaya Semarangan tetapi tidak sama dengan Semarangan. Kesan yang
ditampilkan pada awal karya ini berupa orang yang berdoa diiringi instrumen tiup. Hal
ini membuat pendengar seperti terbawa arus magis karya tersebut. Meskipun gamelan
yang digunakan adalah gamelan Jawa, tetapi pada Buka Sembarangan justru terkesan
seperti gamelan Bali. Penampilan Bapak Cahyo dalam bersyair dan menari menambah
kesan magis dan istimewa.