You are currently viewing Apresiasi Seni – Catha Ambya #3

Apresiasi Seni – Catha Ambya #3

Pada tanggal 20 September 2024, Bidang Pelatihan, Pengembangan, dan Pelatihan Ormawa Kesenian Tradisional BKKT UNS akan menggelar acara apresiasi seni. Bertempat di Pendapa Ageng GPH, Djojokusumo ISI Surakarta, acara ini akan menampilkan pertunjukan seni Tari yang berjudul Catha Ambya #3. Kegiatan ini dapat diikuti baik secara offline oleh pengurus dan anggota BKKT UNS

Catha Ambya #3 merupakan kegiatan pentas triwulan yang diadakan oleh Jurusan Seni Tari Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Surakarta. Catha Ambya mempunyai sebuah arti. Dan jika menjadi slogan, Catha berarti semangat dan Ambya merupakan kreativitas. Catha Ambya mempunyai sebuah harapan program triwulan jurusan tari menjadi program yang bertujuan dalam rangka membangun dan mengembangkan kreativitas pengajar dosen dan mahasiswa dalam penciptaan tari. Untuk membekali mahasiswa jurusan tari dengan kemampuan profesional, kreativitas harus menjadi elemen utama dalam pengembangan pembelajaran program studi tari. Hal ini penting agar mahasiswa dapat menjadi penggerak yang mampu beradaptasi dengan perubahan dan perkembangan tari yang terjadi di masyarakat

Pertunjukan pertama Catha Ambya #3 menampilkan karya yang berjudul Birama Morse Tubuhku. Birama Morse Tubuhku merupakan pentas hasil pengabdian kepada masyarakat tahun 2024 antara dosen dan mahasiswa ISI Surakarta yang melibatkan Mitra SLB Negeri Karanganyar. Diawali oleh prolog secara 2 bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa isyarat. Kemudian dilanjutkan dengan pengenalan sandi Morse Pramuka diolah menjadi sebuah koreografi. Setiap huruf memiliki sebuah bentuk koreo yang berbeda-beda. Huruf A sandi Morse berbentuk titik dan garis. Titik
dan garis ini ditransformasikan menjadi tepuk dan hentakan kaki. Kemudian diikuti oleh huruf-huruf abjad yang sudah ditransformasikan menjadi koreografi sesuai kode Morsenya masing-masing. Ketika koreografi ini digabungkan, seketika gerakan- gerakan sederhana ini menjadi gerakan yang istimewa. Tari dilakukan oleh 14 orang ditambah dengan aransemen musik yang sesuai menambah kesan semangat dalam melakukan koreografi

Karya kedua merupakan karya tari yang berjudul Bedhaya Tolu. Tari Bedhaya Tolu diciptakan oleh Agus ‘Tasman Ranaatmadja pada tahun 1990. Tari ini diciptakan untuk hadiah (pisungsung) dari Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T) Hardjonagoro kepada Yulius Tahiya sebagai sahabat yang sangat akrab dan sangat dihormati. Penciptaan tari Bedhaya Tolu diprakarsai oleh K.R.T Hardjonagoro. Pada awalnya komposisi bedhaya ini disebut tari Bedhaya Wuku Tolu, selanjutnya untuk lebih singkat dan mudah mengucapkan diberi nama tari Bedhaya Tolu.

Tari Bedhaya Tolu dipentaskan oleh 7 penari yang merupakan Dosen Jurusan Tari ISI Surakarta dengan 5 penari menggunakan kebaya berwarna biru dan 2 penari menggunakan kebaya merah. Bedhaya Tolu memiliki ciri khas berbeda dibandingkan dengan Bedhaya lainnya, yaitu mengenakan kebaya lengan panjang yang dihiasi dengan jamang di rambut. Para penari menari dengan sangat luwes dan agung. Dengan
iringan Gendhing Jawa dan diisi dengan cakepan sindhenan yang menggambarkan wuku dari Bapak Yulius yaitu Wuku Tolu. Pertunjukan Bedhaya Tolu menciptakan suasana yang megah, penuh wibawa, sakral, dan memberikan kesan yang gagah.

Pementasan ketiga mempunyai judul Beksan Topeng Kirana. Beksan ini menceritakan tentang Galuh Candra Kirana dan Galuh Ajeng yang merupakan saudara beda ibu. Keduanya saling mencintai Panji Asmarabangun. Untuk menunjukkan cintanya, Panji memberikan dua Golek. Golek Kencana dibungkus dengan pembungkus buruk, sementara Golek Perak dibungkus dengan pembungkus yang indah. Keduanya memilih, dan Galuh Ajeng memilih golek dengan pembungkus yang indah. Sementara itu, Galuh Candra Kirana mendapatkan golek dengan pembungkus buruk, namun di dalamnya terdapat Golek Kencana. Hal ini memicu perebutan untuk mendapatkan Golek Kencana, yang akhirnya menyebabkan Galuh Candra Kirana diusir oleh Ayahnya. Peristiwa ini menjadi awal dari kisah Panji Asmarantaka.

Pada pementasannya, tarian ini dipentaskan oleh dua orang dengan satu memakai busana berwarna merah dan satunya memakai warna hitam. Mengibaratkan Galuh Candra Kirana dan Galuh Ajeng. Dalam pembawaannya, penari masih kurang luwes dan dalam beberapa bagian penari belum kompak

Tari Sekar Manggala menjadi tari penutup pada Catur Ambya #3. Bergerak dari raga yang bersih. Terbang bagai jiwa yang suci. Berserah jiwa raga untuk negeri. Karya Tari “Sekar Manggala” terinspirasi akan sosok wanita pemberani sebagai panglima perang dan ahli strategi dalam perang Diponegoro. Beliau adalah sosok egaliter, menjunjung tinggi emansipasi wanita, dan juga kukuh dalam menjaga karakter bangsa. Berpijak dari hal tersebut Karya Tari Sekar Manggala mencoba mengungkap sifat dan sikap tokoh perempuan yang berpembawaan anggun, sikap tegas, dan pemberani serta memiliki jiwa yang besar untuk negeri.

Pada pementasannya, tari Sekar Manggala ditarikan oleh enam orang dengan busana merah putih yang mengibaratkan jiwa nasionalisme yang tinggi. Gerakan- gerakan juga dilakukan dengan tegas. Penambahan alat peraga berupa tombak dan pedang menambah kesan gagah dan pesan yang akan diberikan tersampaikan. Iringan gamelan yang disajikan terasa sangat menggebu-gebu ditambah dengan vokal yang dibuat pecah suara menambah keunikan dalam pementasan ini.